"Apa mimpimu ?" "Mimpi ?" "Iya, apa yang kamu mimpikan tentang kehidupanmu dimasa depan. Atau apa yang kamu cita-citakan ?" Ku tersenyum. Pandanganku berkeliling melihat suasana kafe yang mulai ramai. Pengunjung silih berganti, sementara kami sudah 1 jam duduk disitu, berdua saja menikmati me time . Pikiranku menerawang, lompat-lompat dari masa lalu dan kondisi saat ini. "Apa kamu gak pernah menghayalkan, seperti apa rumah idamanmu atau pasangan seperti apa yang dirimu harapkan ?" Tanyanya lagi. "Sudah kulupakan." "Lah, kenapa ?" "Percuma saja kalau semua itu terlarang. "Ya, akhirnya rasa itu sirna begitu aja. Mungkin harus ikhlas aja terima kenyataan kalau aku ditakdirkan untuk tidak boleh punya keinginan." "Aku gak paham." "Ya, siapa pun tidak akan paham karena gak ngalamin." Ku tersenyum datar, tanpa ekspresi. Lelah, malas bahas hal yang itu-itu saja dan tidak ada hasil atau solusi. A...
"Mau beli apa?" "Apa yang bagus untuk oleh-oleh ya, Ma?" tanyanya sambil berjalan perlahan menelusuri dan mengamati barang-barang cenderamata yang dipajang di rak toko cinderamata terkenal di kota gudeg itu. Sesekali tangannya menyentuh cenderamata yang diminati, mengangkatnya untuk melihat label harga yang tertempel disana dan mempertimbangkannya dengan uang yang dia miliki. "Ah, duitnya gak cukup," batinnya dalam hati. "Untuk temenmu?" tanya mamanya lagi, yang mengikuti langkahnya sambil juga melihat-lihat barang-barang yang dijual di toko itu. Suara mamanya terdengar tidak ramah di telinganya, ada nada curiga. "Iya..." jawabnya lirih sambil mengangguk ragu. "Temen sekolah, laki-laki?" suara itu terdengar ketus, "Ngapain kamu beliin barang buat anak laki, pacar kamu ya, perempuan macam apa kamu? Seharusnya laki-laki yang ngasih ke kamu, bukan kamu yang belikan dan ngasih-ngasih ke anak laki. Kayak perempuan murahan...